China Tawarkan Gaji Fantastis Rp1,6 Miliar untuk Menarik Ilmuwan Diaspora Pulang Kampung
FAKTA.BLUE - Pemerintah China meluncurkan program ambisius dengan tawaran kompensasi menggiurkan dan fasilitas riset kelas dunia untuk merayu peneliti berkualitas kembali ke tanah air
Program ini secara khusus menargetkan para ilmuwan dan peneliti berkebangsaan China yang selama ini mengembangkan karier cemerlang di luar negeri.
Strategi Brilian China Memanfaatkan Krisis Riset Amerika
Dalam situasi geopolitik yang terus memanas dan pemotongan drastis anggaran penelitian di Amerika Serikat, China mengambil langkah cerdas dengan meluncurkan program rekrutmen revolusioner.
Menurut laporan eksklusif South China Morning Post, inisiatif ambisius Beijing ini hadir di saat yang tepat ketika banyak peneliti mulai mempertanyakan masa depan akademik mereka di Amerika, terutama pasca pelantikan Donald Trump sebagai Presiden AS pada Januari 2025.
Tawaran Gaji Spektakuler yang Sulit Ditolak
Seorang ahli geologi senior di Beijing mengungkapkan detail mengejutkan dari program ini. Posisi postdoktoral kini ditawarkan dengan paket kompensasi mencapai USD100.000 per tahun, setara dengan Rp1,6 miliar untuk kontrak tiga tahun.
"Angka ini menunjukkan komitmen serius pemerintah China. Gaji yang ditawarkan bahkan dua kali lipat dari standar postdoktoral baik di China maupun Amerika Serikat, bahkan setara dengan penghasilan asisten profesor," jelasnya dalam wawancara eksklusif.
Paket kompensasi ini bukan hanya soal gaji besar, tetapi juga mencakup fasilitas penelitian canggih, kebebasan akademik yang dijamin, dan lingkungan riset yang mendukung inovasi tanpa tekanan politik berlebihan.
Krisis Kepercayaan Ilmuwan terhadap Kebijakan Amerika
Ketidakstabilan dunia akademik Amerika bukan sekadar isu pemotongan anggaran. Administrasi Trump kembali menerapkan kebijakan "nasionalisme sains" yang kontroversial dengan memangkas dana riset federal secara masif.
Lembaga bergengsi seperti National Institutes of Health (NIH) mengalami pemotongan anggaran hingga 37 persen, sementara National Science Foundation (NSF) dipangkas lebih dari 50 persen. Program riset perubahan iklim dan misi eksplorasi planet NASA juga ikut terdampak.
Kondisi ini menciptakan atmosfer tidak kondusif bagi para peneliti, terutama yang berasal dari Asia. Seorang ahli biologi berdarah China-Amerika yang telah berkarier puluhan tahun di AS mengakui bahwa banyak koleganya diam-diam mempertimbangkan opsi kepulangan.
"Tekanan datang dari berbagai arah. Di satu sisi, ruang riset semakin sempit karena kebijakan domestik. Di sisi lain, tawaran menarik dari negara asal dan negara lain terus berdatangan," ungkapnya.
Fenomena "Reverse Brain Drain" yang Menguntungkan China
Situasi ini memicu fenomena menarik yang disebut "reverse brain drain", kebalikan dari brain drain klasik. Jika sebelumnya ilmuwan-ilmuwan terbaik China "melarikan diri" ke luar negeri karena keterbatasan infrastruktur, kini mereka justru melihat tanah air sebagai destinasi lebih stabil untuk pengembangan karier akademik.
Seorang peneliti vaksin di New York menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, ilmuwan kelahiran China menjadi sasaran pengawasan ketat di Amerika.
"Jika mereka masih memegang kewarganegaraan China, terutama yang masih muda, kemungkinan besar akan memilih pulang. Kondisi di sana kini lebih menjanjikan daripada di sini," katanya dalam diskusi daring bulan lalu.
Eropa Ikut Memanfaatkan Momentum dengan Program Miliaran Euro
China bukan satu-satunya negara yang memanfaatkan kegelisahan akademik Amerika. Uni Eropa bergerak agresif dengan meluncurkan kampanye "Pilih Eropa untuk Sains" yang dipimpin Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.
Program ambisius ini mengalokasikan €500 juta (sekitar Rp8,7 triliun) untuk menjadikan Eropa sebagai magnet baru para peneliti global. Presiden Prancis Emmanuel Macron bahkan menambahkan €100 juta (Rp1,7 triliun) khusus untuk rekrutmen ilmuwan internasional.
"Jika Anda mencintai kebebasan akademik sejati, datanglah dan kembangkan penelitian Anda di Eropa," tegas Macron dalam konferensi Paris bulan lalu.
Universitas Aix-Marseille meluncurkan program "Safe Haven for Science" yang dalam waktu singkat menerima ratusan aplikasi, hampir 50 persennya dari warga negara Amerika yang mencari alternatif riset di luar AS.
Data Survei Mengonfirmasi Tren Eksodus Ilmuwan
Survei komprehensif yang dilakukan jurnal bergengsi Nature pada Maret 2025 memberikan gambaran nyata tentang sentimen peneliti Amerika. Dari 1.200 ilmuwan yang disurvei, lebih dari 75 persen menyatakan sedang mempertimbangkan untuk meninggalkan Amerika Serikat.
Eropa dan Kanada menjadi destinasi utama yang diminati, sementara China muncul sebagai pilihan menarik bagi peneliti berlatarbelakang Asia. Data ini menunjukkan potensi terjadinya perpindahan besar-besaran talenta akademik dari Amerika ke negara-negara yang menawarkan stabilitas dan dukungan riset lebih baik.
Dampak Jangka Panjang bagi Ekosistem Riset Global
Program rekrutmen agresif China dan respons serupa dari Eropa menandai pergeseran signifikan dalam peta kekuatan riset global. Amerika yang selama puluhan tahun menjadi magnet ilmuwan dunia kini menghadapi tantangan serius dalam mempertahankan dominasinya di bidang sains dan teknologi.
Bagi China, keberhasilan menarik kembali diaspora ilmuwan bukan hanya soal prestise, tetapi investasi strategis jangka panjang untuk memperkuat posisi sebagai superpower teknologi global. Dengan infrastruktur riset yang terus berkembang dan komitmen anggaran yang konsisten, China berpotensi menjadi pusat inovasi dunia dalam dekade mendatang.
Fenomena ini juga mengingatkan pentingnya menciptakan ekosistem riset yang kondusif, tidak hanya dari segi pendanaan tetapi juga kebebasan akademik dan stabilitas politik. Negara yang mampu menyediakan kombinasi ideal dari faktor-faktor tersebut akan menjadi pemenang dalam kompetisi global merebut talenta terbaik dunia.